Artikel ini bertujuan untuk membahas perkembangan sejarah sastra di Indonesia pada era sastra angkatan 50-an (1950-1970). Bahasan artikel ini dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama yaitu membahas sejarah sasrta angkatan 50. Kedua adalah bahasan ciri-ciri estetik sastra angkatan 50. Bahasan ketiga adalah ciri-ciri ekstra estetik puisi dan prosa angkatan 50.
Oleh karena sifat majalah hanya sementara dan tidak dapat memuat sebuah karya sastra yang panjang, maka dibuatlah karya sastra yang pendek-pendek. Hal itulah yang menyebabkan munculnya “sastra majalah” Soeprijadi Tomodihardjo berpendapat dalam sebuah artikelnya “sumber-sumber kegiatan” dengan pendapatnya adalah:
Pada periode ini terdapat dua angkatan, yaitu politik dan sosial. Peristiwa Gerakan 30 September menjadi ciri adanya dua angkatan dalam periode ini.
Angkatan yang pertama yaitu angkatan versi politik yang biasa disebut dengan eksponen 66. Yang tergabung dalam eksponen ini adalah para mahasiswa dan sekumpulan orang yang berkecimpung di dunia politik. Sedangkan versi sastranya terdiri dari sekumpulan orangorang manifes kebudayaan.
Sastra Angkatan 50
Ketika Chairil Anwar meninggal dunia panggung sastra Indonesia mengalami krisis sastra, seolah-olah sastra Indonesia kehilangan semangat atau vitalitasnya. Karena kurangnya buku yang diterbitkan, dan hanya diterbitkan pada majalah-majalah saja.Oleh karena sifat majalah hanya sementara dan tidak dapat memuat sebuah karya sastra yang panjang, maka dibuatlah karya sastra yang pendek-pendek. Hal itulah yang menyebabkan munculnya “sastra majalah” Soeprijadi Tomodihardjo berpendapat dalam sebuah artikelnya “sumber-sumber kegiatan” dengan pendapatnya adalah:
- Kesusastraan sedang memasuki masa krisis, masalah kualitas dan kuantitas.
- Ekspansi ideologi ke dalam dunia seni mengakibatkan banyak orang meninggalkan nilai-nilai seni yang wajar, dan ideologi politik kian menguat.
- Seni dan politik adalah pencampuradukan yang lahir dari kondisi masa itu.
- Pada masa itu pula telah lahir organisasi-organisasi kegiatan kesenian yang mengarahkan kegiatanya pada seni sastra dan seni drama.
- Hal ini mengindikasikan seni mendapat perhatian.
- Kesusastraan berhubungan erat dengan adanya tempat berkegiatan, Jakarta di angggap sebagai pusatnya. Anggapan ini diluruskan, Jakarta hanya sebagai pusat produksi dan publikasi.
Pada periode ini terdapat dua angkatan, yaitu politik dan sosial. Peristiwa Gerakan 30 September menjadi ciri adanya dua angkatan dalam periode ini.
Angkatan yang pertama yaitu angkatan versi politik yang biasa disebut dengan eksponen 66. Yang tergabung dalam eksponen ini adalah para mahasiswa dan sekumpulan orang yang berkecimpung di dunia politik. Sedangkan versi sastranya terdiri dari sekumpulan orangorang manifes kebudayaan.
Ciri-ciri Estetik Sastra Angkatan 50
Puisi:- Gaya epik (bercerita) berkembang dengan berkembangnya puisi cerita dan balada, dengan gaya yang lebih sederhana dari puisi lirik;
- Gaya mantra mulai tampak dalam balada-balada;
- Gaya ulangan mulai berkembang (meskipun sudah dimulai sejak sebelumnya);
- Gaya puisi liris masih melanjutkan karya gaya angkatan 45;
- Gaya slogan dan retorik semakin berkembang.
Prosa:
- Dalam hal prosa (cerita rekaan) rupanya ciri-ciri struktur estetik Angkatan 45 masih tetap diteruskan oleh periode 50 ini hingga pada dasarnya tak ada perbedaan ciri struktur estetik.
- Gaya penceritaan menggunakan gaya murni bercerita (tanpa) tendensi pengarang, tafsir diserahkan pada pembaca.
Ciri-ciri Ekstra Estetik Sastra Angkatan 50
Puisi:
Prosa:
- Ada gambaran suasana muram karena menggambarkan hidup yang penuh penderitaan;
- Mengungkapkan masalah-masalah sosial; kemiskinan, pengangguran, perbedaan kaya miskin yang besar, belum adanya pemerataan hidup;
- Bayak mengemukakan cerita-cerita kepercayaan rakyat sebagai pokok-pokok saja balada.
Prosa:
- Cerita perang mulai berkurang;
- Menggambarkan kehidupan masyarakat sehari-hari;
- Kehidupan pedesaan dan daerah mulai digarap;
- Banyak mengemukakan pertentangan-pertentangan politik.