Parta Krama adalah buku Kumpulan Cerpen karya Umar Kayam. Dalam buku ini, Umar Kayam menulis delapan buah cerpen, dimana empat cerpen pertama menggambarkan sosok yang begitu lemah, sedangkan empat cerpen terakhir menggambarkan birokrasi, dunia terlalu lebar.
Cepen Ke Solo Ke Njati adalah judul cerpen pertama dalam buku Prata Karma. Cerpen Ke Solo Ke Njati menceritakan perjuangan seorang ibu yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta dan ingin mengajak kedua anaknya mudik ke kampung halamannya Njati Wonogiri. Berikut ini analisis cerpen ke solo ke njati yang terdiri dari teks cerita cerpen ke solo ke njati, sinopsis cerita ke solo ke njati, unsur intrinsik cerpen ke solo ke njati dan unsur dan unsur ekstrinsik cerpen ke solo ke njati.
Ke Solo Ke Njati
Penulis: Umar Kayam
Bis jurusan Wonogiri mulai bergerak meninggalkan terminal. Habis sudah harapannya untuk ikut terangkut. Orang begitu berjejal, berebut masuk. Tidak mungkin dia akan dapat peluang, betapapun kecil itu, untuk dapat menyeruak masuk di antara desakan berpuluh manusia yang mau naik. Bawaannya ber-genteyong-an di pundak dan punggungnya, belum lagi tangannya yang mesti menggandeng kedua anak-anaknya yang masih kecil.
Kemarin, pada hari Lebaran pertama, dia sudah hampir bisa masuk. Tangannnya memegang erat-erat anak-anaknya, tangannya sebelah sudah memegang pinggiran pintu. Tiba-tiba anaknya berteriak mainannya jatuh dan sekelebat dilihatnya sebuah tangan ingin merenggut tasnya. Dengan sigap dikibaskannya tangannya menangkis tangan yang ingin menggapai tasnya, dan dengan kegesitan yang sama tangannya yang sebelah melepaskan pegangan anak-anaknya untuk memungut mainan anaknya yang jatuh di tanah. Bersamaan dengan itu orang-orang di belakangnya mendapat kesempatan untuk menyisihkan dia dan anak-anaknya terlempar ke pinggir. Kalau kernet bis yang berdiri di dekatnya tidak sigap menahan tubuhnya, pastilah dia dan anak-anaknya sudah tercampak di tanah.
Anak-anaknya pada menangis dan ia pun segera minggir mencari tempat yang agak sela. Anak-anaknya berhenti menangis sesudah dibelikan teh kotak dan sebungkus kerupuk chiki. Ditariknya napas panjang di pinggir warung itu. Dipandangnya bis yang masih berdiri dengan teguhnya diguncang-guncang orang yang pada mau mudik.
“Bu, kita jadi mudik ke Njati, ya, Bu?” anaknya yang besar, yang berumur enam tahun, bertanya.
“Wah, nampaknya susah, Ti. Lihat tuh penuhnya orang.”
“Kita nggak jadi mudik, ya, Bu.”
“Besok kita coba lagi,ya?”
Itulah keputusannya kemarin. Anak-anaknya pada menggerutu dan mau menangis.
“Sekarang kita mau ke mana, Bu?”
“Ya, pulang, Ti.”
*
Pulang. Itu berarti pulang ke kamar sewaan yang terselip di tengah kampung yang agak kumuh di bilangan Kali Malang. Anak-anaknya yang sudah lelah menurut saja digandeng ibunya dan kemudian didorong masuk ke sebuah bajaj yang pada sore hari itu memungut biaya entah beberapa kali lipat daripada biasa. Anaknya yang kecil langsung tertidur begitu bajaj bergerak. Anaknya yang besar diam, entah membayangkan atau memikirkan apa.
Pagi-pagi, sebelum mereka bersiap untuk pergi ke terminal pada sore hari, dibawanya anak-anaknya ke makam suaminya, di kuburan yang terletak tidak jauh dari kampung tempat dia tinggal. Suaminya, yang semasa hidup adalah buruh bangunan pada sebuah perusahaan pemborong, meninggal kira-kira tiga tahun yang lalu. Dia meninggal tertimpa dinding yang roboh. Untunglah perusahaan cukup baik hati dan mau mengurus pemakamannya dan memberi santunan sekadarnya.
Tetapi, sesudah itu, hidup terasa lebih berat dan getir. Pendapatannya sebagai pembantu di rumah kompleks perumahan itu mepet sekali untuk mengongkosi hidup mereka. Apalagi Ti, anak sulungnya itu, sudah harus sekolah.
Hari demi hari dijalaninya dengan kedatangan dan kebosanan, tetapi, entah bagaimana, dia sanggup juga mengikutinya. Tahu-tahu, ajaib juga, tabungannya yang dikumpulkannya dari sisa dan persenan dari sana-sini terkumpul agak banyak juga selama tiga tahun itu. Kemudian terpikirlah untuk pulang mudik ke Njati tahun ini. Anak-anaknya belum pernah kenal Njati dan embah-embahnya serta sanak saudaranya yang lain. Sudah waktunya mereka kenal dengan mereka, pikirnya. Juga desa mungkin akan memberikan suasana yang lebih menyenangkan, pikirnya lagi. Setidaknya lain dengan tempat tinggalnya yang sumpek di Jakarta. Maka diputuskannyalah untuk nekat pulang Lebaran tahun ini.
“Mbok kamu jangan pulang Lebaran. Tahun ini anak-anak saya pada kumpul di sini. Banyak kerjaan.”
“Wah, nuwun sewu, Bu. Saya sudah terlanjur janji anak-anak.”
“Kalau kamu tidak mudik dan tetap masuk pasti dapat banyak persen dari tamu-tamu. Ya, tidak usah pulang.”
“Wah, nuwun sewu, Bu. Saya sudah terlanjur janji anak-anak.”
Dengan kemantapan tekad begitulah dia memutuskan untuk mudik. Anak-anaknya mulai diceriterai tentang Njati, sawah-sawahnya, kerbau dan sapinya, bentuk-bentuk rumah di desa. Juga tentang embah-embahnya yang sudah pada memutih rambutnya. Juga tentang kota-kota yang bakal mereka lewati, yang akan dapat mereka lihat sekilas-sekilas dari jendela bis yang akan membawa mereka.
“Waduh, kota-kota mana saja itu, Bu?”
“Wah, banyak. Mungkin Cirebon, mungkin Purwokerto, mungkin lewat Semarang, pasti Magelang, pasti Yogya, Solo, terus menuju Njati dan Wonogiri.”
“Waduh. Yang paling bagus kota mana, ya, Bu.”
“Wah, embuh. Mestinya, ya, Solo.”
“Waa, kita mau lihat Solo, Dik. Solo, Solo, Solo.”
“Solo, Solo, Solo…”
Dia berhenti termenung. Anaknya yang kecil sudah tidur dengan pulas di tempat tidur. Kakaknya sudah bersiap juga untuk menyeruak menggeletak di samping adiknya. Ditatapnya muka anak-anaknya sambil juga merebahkan tubuhnya berdesakan dengan anak-anak mereka.
“Jangan terlalu kecewa, ya, Ti. Besok kita coba lagi. Kita pasti akan ke Njati. Dan juga pasti lihat Kota Solo.” Dilihatnya anaknya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan setengah mengantuk dia mengucap, “Solo, Solo, Solo…”
*
Itu kemarin, pada hari Lebaran pertama. Sekarang, pada hari Lebaran kedua, mereka gagal lagi. Kemungkinan itu bahkan lebih tidak ada lagi. Karcis yang dibelinya dari calo, seperti kemarin, memang sudah di tangan. Tetapi, orang-orang itu kok malah jauh lebih banyak dari kemarin. Bahkan lebih beringas. Dia dan anak-anaknya dengan genteyongan barang mereka seperti kemarin, ditarik, didesak, digencet, sehingga akhirnya tersisih jauh ke pinggir lagi. Satu, dua bis dicobanya. Gagal lagi. Orang masih sangat, sangat banyak dan kuat, untuk dapat ditembus. Dan, akhirnya, dengan berdiri termangu di pinggir-pinggir warung, dilindungi kain terpal, di bawah hujan, mereka melihat bis terakhir ke Wonogiri berangkat.
“Yaa, kita nggak jadi betul ke Njati, ya, Bu.”
Ibunya melihat anak-anaknya dengan senyum yang dipaksakan.
“Iya, Nak. Nggak apa, ya? Tahun depan kita coba lagi.”
“Yaa.”
“Yaa.”
“Iya dong. Ibu harus kumpul uang lagi, kan?”
“Memangnya sekarang sudah habis, Bu?”
Ibunya menggigit bibirnya. Tersenyum lagi.
“Masih, masih. Tapi hanya bisa ke Kebon Binatang besok. Ke Njati tahun depan saja, ya?”
Anak-anaknya diam. Hujan mulai agak reda. Dilihatnya hujan yang mereda itu agak menggembirakan anaknya.
“Yuk, yuk, kita lari keluar cari bajaj, yuk.”
Anak-anak itu mengangguk, kemudian mengikuti ibunya digandeng sambil berlari-lari kecil. Di dalam bajaj anak-anak mulai bernyanyi ciptaan mereka yang terbaru.
“Solo, Solo, Solo. Solo, Solo, Solo.”
Mereka tertawa.
“Njati, Njati, Njati. Njati, Njati, Njati.”
Mereka tertawa lagi, mungkin senang bisa menciptakan lagu. Ibunya ikut senang juga melihat anak-anaknya tidak menangis atau merengek-rengek. Dia ingat akan janjinya kepada anak-anaknya untuk mengajak mereka ke Kebon Binatang. Wah, dengan uang apa? Uangnya yang terbanyak sudah habis dimakan calo karcis, ongkos bolak-balik bajaj, jajan, oleh-oleh yang sekarang sudah pada peyot semua. Tinggal lagi sisa untuk beberapa hari. Wah. Tidak apa, pikirnya. Uang itu cukup untuk ongkos ke Kebon Binatang. Saya akan ke gedong malam ini, pikirnya. Pasti banyak kerjaan, pastinya. Siapa tahu tamu-tamu belum pada pulang dan banyak persennya, harapnya. Di kamar sewaannya, anak-anaknya segera ditidurkannya dan sekali lagi dibisikkannya janjinya untuk ke Kebon Binatang besok.
“Lekas tidur. Besok kita ke Kebon Binatang.”
“Asyik, asyik, asyik.”
“Ibu pergi sebentar ke gedong, ya? Baik-baik di rumah, ya? Tidur.”
“Gajah, gajah, gajah. Jrapah, jrapah, jrapah.”
“Ssst, tidur.”
Ibunya dengan tersenyum menutup pintu. Tetapi, waktu di luar, dia dengar anak-anaknya menyanyi yang lain lagi.
“Solo, Solo, Solo. Njati, Njati, Njati…..”
Ibunya menggigit lagi bibirnya sejenak. Kemudian dengan pasti melangkahkan kakinya.
Di gedong, nyonya rumah berteriak waktu melihat dia masuk rumah lewat pintu belakang.
“To, saya bilang apa. Saya bilang apa. Sokur tidak dapat bis kamu. Ayo sini bantu kami sini. Tuh piring-piring kotor masih menumpuk di dapur. Sana…….”
***
Sinopsis Cerpen Ke Solo Ke Njati
Seorang ibu yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta dan ingin mengajak kedua anaknya mudik ke kampung halamannya Njati Wonogiri. “Asik.. kita akan ke Njati, melewati Solo. Solo.. Solo.. Njati.. Njati...” celoteh kedua anaknya.
Lebaran pertama ia tidak diberi kesempatan untuk mudik karena ketika ia akan naik bus, tiba-tiba anaknya merengek karena mainannya jatuh,disamping itu ada sebuah tangan yang hendak menjambret tasnya. Akhirnya ia pun pulang karena tidak sanggup lagi bersaing dengan orang yang begitu banyak lagi kuat.
Lebaran kedua ia mencoba kembali, tapi sebelum itu ia mengajak kedua anaknya ke makam suaminya yang meninggal karena tertimpa dinding roboh ditempat kerjanya di kantor bangunan. Tak disangka, ternyata penumpang hari ini lebih banyak dari lebaran pertama.
Ia kehabisan tiket, hujan turun dan mereka duduk di depan warung sambil memandangi bus yang lewat sampai bus terakhir jurusan Wonogiri berangkat. Kedua anaknya menggerutu “kita tidak jadi mudik ke Njati ya bu??” ia hanya tersenyum, “jangan sedih ya nak, mungkin lebaran tahun depan kita mudik kesana, sebagai gantinya kita akan jalan-jalan ke kebun binatang. Nah, sekarang kita pulang”.
Hujan akhirnya reda, anak-anaknya berlarian keluar menghentikan bajay, dan pulang. “sekarang kalian tidur ya nak!! Besok kita ke kebun binatang” bisiknya. Ia memandangi kedua anaknya yang masih berceloteh “jerapah.. jerapah... gajah.. gajah...”
Unsur Intrinsik Cerpen Ke Solo Ke Njati
1. Tema
Tema cerpen ke solo ke njati adalah perjuangan seorang ibu bersama kedua anaknya yang ingin mudik lebaran ke kampung halaman.
2. Latar
Latar cerita dari cerpen ke solo ke njati terdiri dari latar tempat, latar waktu dan latar suasana. Berikut analisis latar cerpen ke solo ke njati.
a. latar tempat
Latar tempat cerpen ke solo ke njati yaitu, di terminal bus, Jakarta, desa Njati, makam, pintu masuk bus, pinggir warung, kamar sewaan, kali malang, dalam bajaj, komplek perumahan dan rumah gedong. Berikut bukti teks cerita pendek ke solo ke njati yang menunjukkan latar tempat.
Terminal
Bis jurusan Wonogiri mulai bergerak meninggalkan terminal. Habis sudah harapannya untuk ikut terangkut.
Jakarta
Setidaknya lain dengan tempat tinggalnya yang sumpek di Jakarta.
Desa Njati
Kemudian terpikirlah untuk pulang mudik ke Njati tahun ini.
Makam
Pagi-pagi, sebelum mereka bersiap untuk pergi ke terminal pada sore hari, dibawanya anak-anaknya ke makam suaminya, di kuburan yang terletak tidak jauh dari kampung tempat dia tinggal.
Pintu Masuk bus
Kemarin, pada hari Lebaran pertama, dia sudah hampir bisa masuk. Tangannnya memegang erat-erat anak-anaknya, tangannya sebelah sudah memegang pinggiran pintu.
Pinggir Warung
Ditariknya napas panjang di pinggir warung itu. Dipandangnya bis yang masih berdiri dengan teguhnya diguncang-guncang orang yang pada mau mudik.
Kamar sewaan
Itu berarti pulang ke kamar sewaan yang terselip di tengah kampung yang agak kumuh di bilangan Kali Malang.
Di kamar sewaannya, anak-anaknya segera ditidurkannya dan sekali lagi dibisikkannya janjinya untuk ke Kebon Binatang besok.
Kali Malang
Itu berarti pulang ke kamar sewaan yang terselip di tengah kampung yang agak kumuh di bilangan Kali Malang.
Dalam Bajaj
Anak-anaknya yang sudah lelah menurut saja digandeng ibunya dan kemudian didorong masuk ke sebuah bajaj yang pada sore hari itu memungut biaya entah beberapa kali lipat daripada biasa. Anaknya yang kecil langsung tertidur begitu bajaj bergerak. Anaknya yang besar diam, entah membayangkan atau memikirkan apa.
Kompleks perumahan
Pendapatannya sebagai pembantu di rumah kompleks perumahan itu mepet sekali untuk mengongkosi hidup mereka.
Di Gedong (rumah mewah)
Di gedong, nyonya rumah berteriak waktu melihat dia masuk rumah lewat pintu belakang.
b. latar waktu
Latar waktu cerpen ke solo ke njati yaitu pada hari lebaran pertama, hari lebaran kedua, pagi hari, sore hari dan malam hari. Berikut bukti teks cerpen ke solo ke njati yang menunjukkan latar waktu.
Hari Lebaran Pertama
Kemarin, pada hari Lebaran pertama, dia sudah hampir bisa masuk. Tangannnya memegang erat-erat anak-anaknya, tangannya sebelah sudah memegang pinggiran pintu.
Pagi Hari
Pagi-pagi, sebelum mereka bersiap untuk pergi ke terminal pada sore hari, dibawanya anak-anaknya ke makam suaminya, di kuburan yang terletak tidak jauh dari kampung tempat dia tinggal.
Sore Hari
Pagi-pagi, sebelum mereka bersiap untuk pergi ke terminal pada sore hari, dibawanya anak-anaknya ke makam suaminya, di kuburan yang terletak tidak jauh dari kampung tempat dia tinggal.
Malam Hari
Saya akan ke gedong malam ini, pikirnya.
Hari Lebaran Kedua
Sekarang, pada hari Lebaran kedua, mereka gagal lagi.
c. latar suasana
Latar suasana cerpen ke solo ke njati terdiri dari suasana hilang harapan, sesak, melelahkan, getir, bosan, mengejutkan, menyenangkan, sumpek, kecewa, hujan dan gembira. Berikut bukti teks cerpen ke solo ke njati yang menunjukkan latar suasana.
Hilang Harapan
Bis jurusan Wonogiri mulai bergerak meninggalkan terminal. Habis sudah harapannya untuk ikut terangkut.
Sesak
Orang begitu berjejal, berebut masuk. Tidak mungkin dia akan dapat peluang, betapapun kecil itu, untuk dapat menyeruak masuk di antara desakan berpuluh manusia yang mau naik.
Ditatapnya muka anak-anaknya sambil juga merebahkan tubuhnya berdesakan dengan anak-anak mereka.
Melelahkan
Anak-anaknya yang sudah lelah menurut saja digandeng ibunya dan kemudian didorong masuk ke sebuah bajaj yang pada sore hari itu memungut biaya entah beberapa kali lipat daripada biasa. Anaknya yang kecil langsung tertidur begitu bajaj bergerak. Anaknya yang besar diam, entah membayangkan atau memikirkan apa.
Dengan setengah mengantuk dia mengucap, “Solo, Solo, Solo…”
Getir
Tetapi, sesudah itu, hidup terasa lebih berat dan getir.
Bosan
Hari demi hari dijalaninya dengan kedatangan dan kebosanan, tetapi, entah bagaimana, dia sanggup juga mengikutinya.
Mengejutkan
Tahu-tahu, ajaib juga, tabungannya yang dikumpulkannya dari sisa dan persenan dari sana-sini terkumpul agak banyak juga selama tiga tahun itu.
Menyenangkan
Juga desa mungkin akan memberikan suasana yang lebih menyenangkan, pikirnya lagi.
Mereka tertawa lagi, mungkin senang bisa menciptakan lagu. Ibunya ikut senang juga melihat anak-anaknya tidak menangis atau merengek-rengek.
Sumpek
Setidaknya lain dengan tempat tinggalnya yang sumpek di Jakarta.
Kecewa
“Jangan terlalu kecewa, ya, Ti. Besok kita coba lagi. Kita pasti akan ke Njati.
Dan, akhirnya, dengan berdiri termangu di pinggir-pinggir warung, dilindungi kain terpal, di bawah hujan, mereka melihat bis terakhir ke Wonogiri berangkat.
Gembira
Dilihatnya hujan yang mereda itu agak menggembirakan anaknya.
3. Alur
Alur cerita cerpen ke solo ke njati adalah alur campuran. Alur campuran atau bisa disebut alur maju-mundur adalah alur yang diawali dengan klimaks, kemudian menceritakan masa lampau, dan dilanjutkan hingga tahap penyelesaian. Pada saat menceritakan masa lampau, tokoh dalam cerita dikenalkan sehingga saat cerita satu belum selesai, kembali ke awal cerita untuk memperkenalkan tokoh lainnya.
Tahapan pada Alur campuran adalah sebagai berikut.
Klimaks → Muncul konflik → Pengenalan→ Antiklimaks → Penyelesaian
4. Struktur Tahapan Alur
Struktur alur cerita cerpen ke solo ke njati terdiri dari klimaks, konflik, orientasi, antiklimaks, dan resolusi. Berikut Pembahasan isi struktur alur cerpen ke solo ke njati beserta bukti teks.
a. Klimaks
Ibu dan kedua anaknya gagal mudik lebaran untuk kedua kalinya di hari lebaran kedua.
Bis jurusan Wonogiri mulai bergerak meninggalkan terminal. Habis sudah harapannya untuk ikut terangkut. Orang begitu berjejal, berebut masuk. Tidak mungkin dia akan dapat peluang, betapapun kecil itu, untuk dapat menyeruak masuk di antara desakan berpuluh manusia yang mau naik. Bawaannya ber-genteyong-an di pundak dan punggungnya, belum lagi tangannya yang mesti menggandeng kedua anak-anaknya yang masih kecil.
b. Konflik
Ibu dan kedua anaknya ingin mudik lebaran menggunakan bis di hari lebaran pertama. Mereka tidak berhasil mudik lebaran karena tidak kebagian bis untuk mudik dan terlalu banyak penumpang yang saling berebut untuk mudik lebaran. Mereka akhirnya pulang dengan rasa kecewa.
Kemarin, pada hari Lebaran pertama, dia sudah hampir bisa masuk. Tangannnya memegang erat-erat anak-anaknya, tangannya sebelah sudah memegang pinggiran pintu. Tiba-tiba anaknya berteriak mainannya jatuh dan sekelebat dilihatnya sebuah tangan ingin merenggut tasnya. Dengan sigap dikibaskannya tangannya menangkis tangan yang ingin menggapai tasnya, dan dengan kegesitan yang sama tangannya yang sebelah melepaskan pegangan anak-anaknya untuk memungut mainan anaknya yang jatuh di tanah. Bersamaan dengan itu orang-orang di belakangnya mendapat kesempatan untuk menyisihkan dia dan anak-anaknya terlempar ke pinggir. Kalau kernet bis yang berdiri di dekatnya tidak sigap menahan tubuhnya, pastilah dia dan anak-anaknya sudah tercampak di tanah.
Anak-anaknya pada menangis dan ia pun segera minggir mencari tempat yang agak sela. Anak-anaknya berhenti menangis sesudah dibelikan teh kotak dan sebungkus kerupuk chiki. Ditariknya napas panjang di pinggir warung itu. Dipandangnya bis yang masih berdiri dengan teguhnya diguncang-guncang orang yang pada mau mudik.
“Bu, kita jadi mudik ke Njati, ya, Bu?” anaknya yang besar, yang berumur enam tahun, bertanya.
“Wah, nampaknya susah, Ti. Lihat tuh penuhnya orang.”
“Kita nggak jadi mudik, ya, Bu.”
“Besok kita coba lagi,ya?”
Itulah keputusannya kemarin. Anak-anaknya pada menggerutu dan mau menangis.
“Sekarang kita mau ke mana, Bu?”
“Ya, pulang, Ti.”
c. Orientasi
Seorang ibu tinggal bersama kedua anaknya di sebuah kamar sewaan di tengah kampung kumuh dekat Kali Malang. Suaminya yang bekerja sebagai buruh bangunan telah meninggal tiga tahun yang lalu. Sang ibu kini bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah rumah gedong demi memenuhi kebutuhan hidupnya bersama kedua anaknya yang masih kecil. Sang Ibu diminta majikannya untuk bekerja sedikit lebih lama beberapa hari oleh majikannya sebelum mudik lebaran, namun ia menolak karena sudah berjanji kepada kedua anaknya.
Pulang. Itu berarti pulang ke kamar sewaan yang terselip di tengah kampung yang agak kumuh di bilangan Kali Malang. Anak-anaknya yang sudah lelah menurut saja digandeng ibunya dan kemudian didorong masuk ke sebuah bajaj yang pada sore hari itu memungut biaya entah beberapa kali lipat daripada biasa. Anaknya yang kecil langsung tertidur begitu bajaj bergerak. Anaknya yang besar diam, entah membayangkan atau memikirkan apa.
Pagi-pagi, sebelum mereka bersiap untuk pergi ke terminal pada sore hari, dibawanya anak-anaknya ke makam suaminya, di kuburan yang terletak tidak jauh dari kampung tempat dia tinggal. Suaminya, yang semasa hidup adalah buruh bangunan pada sebuah perusahaan pemborong, meninggal kira-kira tiga tahun yang lalu. Dia meninggal tertimpa dinding yang roboh. Untunglah perusahaan cukup baik hati dan mau mengurus pemakamannya dan memberi santunan sekadarnya.
Tetapi, sesudah itu, hidup terasa lebih berat dan getir. Pendapatannya sebagai pembantu di rumah kompleks perumahan itu mepet sekali untuk mengongkosi hidup mereka. Apalagi Ti, anak sulungnya itu, sudah harus sekolah.
Hari demi hari dijalaninya dengan kedatangan dan kebosanan, tetapi, entah bagaimana, dia sanggup juga mengikutinya. Tahu-tahu, ajaib juga, tabungannya yang dikumpulkannya dari sisa dan persenan dari sana-sini terkumpul agak banyak juga selama tiga tahun itu. Kemudian terpikirlah untuk pulang mudik ke Njati tahun ini. Anak-anaknya belum pernah kenal Njati dan embah-embahnya serta sanak saudaranya yang lain. Sudah waktunya mereka kenal dengan mereka, pikirnya. Juga desa mungkin akan memberikan suasana yang lebih menyenangkan, pikirnya lagi. Setidaknya lain dengan tempat tinggalnya yang sumpek di Jakarta. Maka diputuskannyalah untuk nekat pulang Lebaran tahun ini.
“Mbok kamu jangan pulang Lebaran. Tahun ini anak-anak saya pada kumpul di sini. Banyak kerjaan.”
“Wah, nuwun sewu, Bu. Saya sudah terlanjur janji anak-anak.”
“Kalau kamu tidak mudik dan tetap masuk pasti dapat banyak persen dari tamu-tamu. Ya, tidak usah pulang.”
“Wah, nuwun sewu, Bu. Saya sudah terlanjur janji anak-anak.”
Dengan kemantapan tekad begitulah dia memutuskan untuk mudik. Anak-anaknya mulai diceriterai tentang Njati, sawah-sawahnya, kerbau dan sapinya, bentuk-bentuk rumah di desa. Juga tentang embah-embahnya yang sudah pada memutih rambutnya. Juga tentang kota-kota yang bakal mereka lewati, yang akan dapat mereka lihat sekilas-sekilas dari jendela bis yang akan membawa mereka.
“Waduh, kota-kota mana saja itu, Bu?”
“Wah, banyak. Mungkin Cirebon, mungkin Purwokerto, mungkin lewat Semarang, pasti Magelang, pasti Yogya, Solo, terus menuju Njati dan Wonogiri.”
“Waduh. Yang paling bagus kota mana, ya, Bu.”
“Wah, embuh. Mestinya, ya, Solo.”
“Waa, kita mau lihat Solo, Dik. Solo, Solo, Solo.”
“Solo, Solo, Solo…”
Dia berhenti termenung. Anaknya yang kecil sudah tidur dengan pulas di tempat tidur. Kakaknya sudah bersiap juga untuk menyeruak menggeletak di samping adiknya. Ditatapnya muka anak-anaknya sambil juga merebahkan tubuhnya berdesakan dengan anak-anak mereka.
“Jangan terlalu kecewa, ya, Ti. Besok kita coba lagi. Kita pasti akan ke Njati. Dan juga pasti lihat Kota Solo.” Dilihatnya anaknya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan setengah mengantuk dia mengucap, “Solo, Solo, Solo…”
d. Antiklimaks
Di hari lebaran ke dua, mereka juga gagal memperoleh bis untuk mudik lebaran karena orang-orang yang ingin mudik lebih banyak dan lebih beringas dibandingkan hari pertama lebaran. Mereka bertiga pulang ke kamar sewa dengan rasa kecewa. Walaupun uang sang ibu sudah menipis, ia berjanji mengajak anak-anaknya ke kebun binatang untuk menghibur anak-anaknya.
Itu kemarin, pada hari Lebaran pertama. Sekarang, pada hari Lebaran kedua, mereka gagal lagi. Kemungkinan itu bahkan lebih tidak ada lagi. Karcis yang dibelinya dari calo, seperti kemarin, memang sudah di tangan. Tetapi, orang-orang itu kok malah jauh lebih banyak dari kemarin. Bahkan lebih beringas. Dia dan anak-anaknya dengan genteyongan barang mereka seperti kemarin, ditarik, didesak, digencet, sehingga akhirnya tersisih jauh ke pinggir lagi. Satu, dua bis dicobanya. Gagal lagi. Orang masih sangat, sangat banyak dan kuat, untuk dapat ditembus. Dan, akhirnya, dengan berdiri termangu di pinggir-pinggir warung, dilindungi kain terpal, di bawah hujan, mereka melihat bis terakhir ke Wonogiri berangkat.
“Yaa, kita nggak jadi betul ke Njati, ya, Bu.”
Ibunya melihat anak-anaknya dengan senyum yang dipaksakan.
“Iya, Nak. Nggak apa, ya? Tahun depan kita coba lagi.”
“Yaa.”
“Yaa.”
“Iya dong. Ibu harus kumpul uang lagi, kan?”
“Memangnya sekarang sudah habis, Bu?”
Ibunya menggigit bibirnya. Tersenyum lagi.
“Masih, masih. Tapi hanya bisa ke Kebon Binatang besok. Ke Njati tahun depan saja, ya?”
Anak-anaknya diam. Hujan mulai agak reda. Dilihatnya hujan yang mereda itu agak menggembirakan anaknya.
“Yuk, yuk, kita lari keluar cari bajaj, yuk.”
Anak-anak itu mengangguk, kemudian mengikuti ibunya digandeng sambil berlari-lari kecil. Di dalam bajaj anak-anak mulai bernyanyi ciptaan mereka yang terbaru.
“Solo, Solo, Solo. Solo, Solo, Solo.”
Mereka tertawa.
“Njati, Njati, Njati. Njati, Njati, Njati.”
e. Resolusi
Semua uang yang dipersiapkan untuk mudik hangus karena karcis bis yang dibeli sang ibu menjadi sia-sia. Karena uang yang tersisia tidak cukup untuk memenuhi janji ke kebun binatang dan kebutuhan hidup, sang ibu berusaha kembali ke rumah majikannya dengan harapan masih ada pekerjaan tambahan yang bisa dia lakukan. Untungnya majikan sang ibu menerimanya dengan baik, sang ibu akhirnya bisa memenuhi janji untuk mengajak anak-anaknya ke kebun binatang.
Mereka tertawa lagi, mungkin senang bisa menciptakan lagu. Ibunya ikut senang juga melihat anak-anaknya tidak menangis atau merengek-rengek. Dia ingat akan janjinya kepada anak-anaknya untuk mengajak mereka ke Kebon Binatang. Wah, dengan uang apa? Uangnya yang terbanyak sudah habis dimakan calo karcis, ongkos bolak-balik bajaj, jajan, oleh-oleh yang sekarang sudah pada peyot semua. Tinggal lagi sisa untuk beberapa hari. Wah. Tidak apa, pikirnya. Uang itu cukup untuk ongkos ke Kebon Binatang. Saya akan ke gedong malam ini, pikirnya. Pasti banyak kerjaan, pastinya. Siapa tahu tamu-tamu belum pada pulang dan banyak persennya, harapnya. Di kamar sewaannya, anak-anaknya segera ditidurkannya dan sekali lagi dibisikkannya janjinya untuk ke Kebon Binatang besok.
“Lekas tidur. Besok kita ke Kebon Binatang.”
“Asyik, asyik, asyik.”
“Ibu pergi sebentar ke gedong, ya? Baik-baik di rumah, ya? Tidur.”
“Gajah, gajah, gajah. Jrapah, jrapah, jrapah.”
“Ssst, tidur.”
Ibunya dengan tersenyum menutup pintu. Tetapi, waktu di luar, dia dengar anak-anaknya menyanyi yang lain lagi.
“Solo, Solo, Solo. Njati, Njati, Njati…..”
Ibunya menggigit lagi bibirnya sejenak. Kemudian dengan pasti melangkahkan kakinya.
Di gedong, nyonya rumah berteriak waktu melihat dia masuk rumah lewat pintu belakang.
“To, saya bilang apa. Saya bilang apa. Sokur tidak dapat bis kamu. Ayo sini bantu kami sini. Tuh piring-piring kotor masih menumpuk di dapur. Sana…….”
5. Tokoh
Tokoh dalam cerpen ke solo ke njati yaitu Ibu, Anak-anak, Kernet Bis, Penumpang Bis, Sopir Bajaj, Pihak Perusahaan dan Majikan.
6. Watak Tokoh (Penokohan)
Watak penokohan cerpen ke solo ke njati dibagi menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Berikut analisis watak tokoh-tokoh dalam cerpen ke solo ke njati.
a. Protagonis
- Ibu
Sigap dan gesit
Tiba-tiba anaknya berteriak mainannya jatuh dan sekelebat dilihatnya sebuah tangan ingin merenggut tasnya. Dengan sigap dikibaskannya tangannya menangkis tangan yang ingin menggapai tasnya, dan dengan kegesitan yang sama tangannya yang sebelah melepaskan pegangan anak-anaknya untuk memungut mainan anaknya yang jatuh di tanah.
Sabar
Ditariknya napas panjang di pinggir warung itu. Dipandangnya bis yang masih berdiri dengan teguhnya diguncang-guncang orang yang pada mau mudik.
Tepat janji
“Mbok kamu jangan pulang Lebaran. Tahun ini anak-anak saya pada kumpul di sini. Banyak kerjaan.”
“Wah, nuwun sewu, Bu. Saya sudah terlanjur janji anak-anak.”
Tidak Tamak
“Kalau kamu tidak mudik dan tetap masuk pasti dapat banyak persen dari tamu-tamu. Ya, tidak usah pulang.”
“Wah, nuwun sewu, Bu. Saya sudah terlanjur janji anak-anak.”
Tegar
Ibunya melihat anak-anaknya dengan senyum yang dipaksakan.
“Iya, Nak. Nggak apa, ya? Tahun depan kita coba lagi.”
“Iya dong. Ibu harus kumpul uang lagi, kan?”
“Memangnya sekarang sudah habis, Bu?”
Ibunya menggigit bibirnya. Tersenyum lagi.
- Kernet bis
Sigap
Kalau kernet bis yang berdiri di dekatnya tidak sigap menahan tubuhnya, pastilah dia dan anak-anaknya sudah tercampak di tanah.
- Pihak Perusahaan
Baik hati
Untunglah perusahaan cukup baik hati dan mau mengurus pemakamannya dan memberi santunan sekadarnya.
- Anak-Anak
Cengeng
Anak-anaknya pada menangis dan ia pun segera minggir mencari tempat yang agak sela.
Penurut
Anak-anaknya berhenti menangis sesudah dibelikan teh kotak dan sebungkus kerupuk chiki.
Anak-anak itu mengangguk, kemudian mengikuti ibunya digandeng sambil berlari-lari kecil.
Penggerutu
Itulah keputusannya kemarin. Anak-anaknya pada menggerutu dan mau menangis.
b. Antagonis
- Penumpang Bus
Saling berebut
Orang begitu berjejal, berebut masuk. Tidak mungkin dia akan dapat peluang, betapapun kecil itu, untuk dapat menyeruak masuk di antara desakan berpuluh manusia yang mau naik.
Bersamaan dengan itu orang-orang di belakangnya mendapat kesempatan untuk menyisihkan dia dan anak-anaknya terlempar ke pinggir.
Beringas
Tetapi, orang-orang itu kok malah jauh lebih banyak dari kemarin. Bahkan lebih beringas. Dia dan anak-anaknya dengan genteyongan barang mereka seperti kemarin, ditarik, didesak, digencet, sehingga akhirnya tersisih jauh ke pinggir lagi.
Tamak
Anak-anaknya yang sudah lelah menurut saja digandeng ibunya dan kemudian didorong masuk ke sebuah bajaj yang pada sore hari itu memungut biaya entah beberapa kali lipat daripada biasa.
- Majikan
Tidak Memiliki Belas Kasih
Takada rasa belas kasih dari majikannya. Memahami perasaan pembantunya saja rasanya tidak. Keuntungan dan keuntungan yang dibutuhkan. Memang, majikannya itu seperti memedulikannya. Ketika menahan keberangkatan si Ibu, ia membujuk bahwa anak-anaknya akan datang. Persenan dari para tamu pun akan lebih banyak. Namun, bujukannya itu lebih dari keuntungan pribadi yang juga akan majikannya dapat.
Di gedong, nyonya rumah berteriak waktu melihat dia masuk rumah lewat pintu belakang.
“To, saya bilang apa. Saya bilang apa. Sokur tidak dapat bis kamu. Ayo sini bantu kami sini. Tuh piring-piring kotor masih menumpuk di dapur. Sana…….”
7. Gaya Bahasa
Gaya bahasa cerpen ke solo ke njati terdiri dari gaya bahasa perbandingan (majas metafora) dan gaya bahasa penegasan (majas repetisi).
a. Gaya Bahasa Perbandingan
Metafora : adalah gaya bahasa yang digunakan sebagai kiasan yang secara eksplisit mewakili suatu maksud lain berdasarkan persamaan atau perbandingan.
Pendapatannya sebagai pembantu di rumah kompleks perumahan itu mepet sekali untuk mengongkosi hidup mereka.
Ibunya menggigit bibirnya. Tersenyum lagi.
b Gaya Bahasa Penegasan
Repetisi : adalah gaya bahasa yang mengulang kata-kata dalam suatu kalimat.
“Gajah, gajah, gajah. Jrapah, jrapah, jrapah.”
8. Sudut pandang
Sudut pandang yang digunakan penulis cerpen ke solo ke njati adalah sudut pandang campuran. hal ini terlihat dari bagaimana penulis menempatkan dirinya dalam cerpen ke solo ke njati terkadang dalam sudut pandang orang pertama yaitu sebagai tokoh cerita, dan terkadang penulis menempatkan dirinya sebagai orang ketiga serba tahu.
9. Amanat
Pesan moral cerpen ke solo ke njati adalah sebagai berikut:
- Berpikir dahulu sebelum bertindak
- Biasakan diri untuk bersikap teratur
- Bersikap rendah hati dan sabar
- Menolong orang lain yang kesusahan
- Menepati janji yang dibuat
Unsur Ekstrinsik Cerpen Ke Solo Ke Njati
1. Nilai Budaya
Nilai budaya dalam cerpen ke solo ke njati dipengaruhi oleh budaya masyarakat di Indonesia khsusnya budaya saat menunggu bus di terminal. Kebanyakan penumpang tidak bisa antri dengan tertib dan saling berebut untuk naik ke dalam bis.
2. Nilai Religi
Nilai Religi dalam cerpen ke solo ke njati dipengaruhi oleh unsur agama islam dimana adanya kebiasaan mudik lebaran setelah lewatnya bulan suci ramadhan serta kebiasaan berziarah ke makam.
3. Nilai Sosial
Nilai sosial dalam cerpen ke solo ke njati di pengaruhi oleh pelajaran bagaimana sebaiknya seorang ibu bertindak dalam membesarkan anak-anaknya. Selain itu juga terdapat unsur kehidupan sosial masyarakat kota yang begitu padat.
4. Nilai Moral
Nilai moral dalam cerpen ke solo ke njati dipengaruhi oleh aspek pelajaran moral yang pernah didapatkan oleh penulis, misalnya nilai moral untuk tetap sabar, teguh, tidak gampang menyerah, tepat janji dan terus berusaha.