Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Hikayat Abu Nawas: Pesan Bagi Hakim

Analisis unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik Hikayat Abu Nawas: Pesan Bagi Hakim ini dibagi menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama berisikan cerita Hikayat Abu Nawas: Pesan Bagi Hakim. Pada bagian kedua berisikan analisis unsur intrinsik Hikayat Abu Nawas: Pesan Bagi Hakim. Pada bagian terakhir berisikan analisis unsur ekstrinsik dari hikayat Abu Nawas: Pesan Bagi Hakim.
Unsur Intrinsik dan Unsur Ekstrinsik Hikayat Abu Nawas: Pesan Bagi Hakim

Hikayat Abu Nawas: Pesan Bagi Hakim

Bapaknya Abu Nawas adalah Penghulu Kerajaan Baghdad bernama Maulana. Pada suatu hari bapaknya Abu Nawas yang sudah tua itu sakit parah dan akhirnya meninggal dunia. Abu Nawas dipanggil ke istana. la diperintah Sultan (Raja) untuk mengubur jenazah bapaknya itu sebagaimana adat Syeikh Maulana. Apa yang dilakukan Abu Nawas hampir tiada bedanya dengan Kadi Maulana baik mengenai tata cara memandikan jenazah hingga mengkafani, menyalati dan men-do‟akannya. Maka Sultan bermaksud mengangkat Abu Nawas menjadi Kadi atau penghulu menggantikan kedudukan bapaknya.

Namun, demi mendengar rencana sang Sultan. Tiba-tiba saja Abu Nawas yang cerdas itu tiba-tiba nampak berubah menjadi gila. Usai upacara pemakaman bapaknya. Abu Nawas mengambil batang sepotong batang pisang dan diperlakukannya seperti kuda, ia menunggang kuda dari batang pisang itu sambil berlari-lari dari kuburan bapaknya menuju rumahnya.

Orang yang melihat menjadi terheran-heran dibuatnya. Pada hari yang lain ia mengajak anak-anak kecil dalam jumlah yang cukup banyak untuk pergi ke makam bapaknya. Dan di atas makam bapaknya itu ia mengajak anak-anak bermain rebana dan bersuka cita.

Kini semua orang semakin heran atas kelakuan Abu Nawas itu, mereka menganggap Abu Nawas sudah menjadi gila karena ditinggal mati oleh bapaknya.

Pada suatu hari ada beberapa orang utusan dari Sultan Harun Al Rasyid datang menemui Abu Nawas. “Hai Abu Nawas kau dipanggil Sultan untuk menghadap ke istana.” kata wazir utusan Sultan. “Buat apa sultan memanggilku, aku tidak ada keperluan dengannya.” jawab Abu Nawas dengan entengnya seperti tanpa beban.

“Hai Abu Nawas kau tidak boleh berkata seperti itu kepada rajamu.”
“Hai wazir, kau jangan banyak cakap. Cepat ambil ini kudaku ini dan mandikan di sungai supaya bersih dan segar.” kata Abu Nawas sambil menyodorkan sebatang pohon pisang yang dijadikan kuda-kudaan.

Si wazir hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Abu Nawas. “Abu Nawas kau mau apa tidak menghadap Sultan?” kata wazir.
“Katakan kepada rajamu, aku sudah tahu maka aku tidak mau.” kata Abu Nawas.

“Apa maksudnya Abu Nawas?” tanya wazir dengan rasa penasaran.
“Sudah pergi sana, bilang saja begitu kepada rajamu.” sergah Abu Nawas sembari menyaruk debu dan dilempar ke arah si wazir dan teman-temannya.

Si wazir segera menyingkir dari halaman rumah Abu Nawas. Mereka laporkan keadaan Abu Nawas yang seperti tak waras itu kepada Sultan Harun Al Rasyid.

Dengan geram Sultan berkata,”Kalian bodoh semua, hanya menghadapkan Abu Nawas kemari saja tak becus! Ayo pergi sana ke rumah Abu Nawas bawa dia kemari dengan suka rela ataupun terpaksa.”

Si wazir segera mengajak beberapa prajurit istana. Dan dengan paksa Abu Nawas di hadirkan di hadapan raja. Namun lagi-lagi di depan raja Abu Nawas berlagak pilon bahkan tingkah-nya ugal-ugalan tak selayaknya berada di hadapan seorang raja.
“Abu Nawas bersikaplah sopan!” tegur Baginda.
“Ya Baginda, tahukah Anda……?
”Apa Abu Nawas…?”
“Baginda…terasi itu asalnya dari udang !”
“Kurang ajar kau menghinaku Nawas !”
“Tidak Baginda! Siapa bilang udang berasal dari terasi?”

Baginda merasa dilecehkan, ia naik pitam dan segera memberi perintah kepada para pengawalnya. “Hajar dia ! Pukuli dia sebanyak dua puluh lima kali.”

Wah-wah! Abu Nawas yang kurus kering itu akhirnya lemas tak berdaya dipukuli tentara yang bertubuh kekar. Usai dipukuli Abu Nawas disuruh keluar istana. Ketika sampai di pintu gerbang kota, ia dicegat oleh penjaga.

“Hai Abu Nawas! Tempo hari ketika kau hendak masuk kekota ini kita telah mengadakan perjanjian. Masak kau lupa pada janjimu itu? Jika engkau diberi hadiah oleh Baginda maka engkau berkata: Aku bagi dua; engkau satu bagian, aku satu bagian. Nah, sekarang mana bagianku itu?” “Hai penjaga pintu gerbang, apakah kau benar-benar menginginkan hadiah Baginda yang diberikan kepadaku tadi?”

“lya, tentu itu kan sudah merupakan perjanjian kita?”
“Baik, aku berikan semuanya, bukan hanya satu bagian!”. “Wah ternyata kau baik hati Abu Nawas. Memang harusnya begitu, kau kan sudah sering menerima hadiah dari Baginda.”

Tanpa banyak cakap lagi Abu Nawas mengambil sebatang kayu yang agak besar lalu orang itu dipukulinya sebanyak dua puluh lima kali. Tentu saja orang itu menjerit-jerit kesakitan dan menganggap Abu Nawas telah menjadi gila. Setelah penunggu gerbang kota itu klenger Abu Nawas meninggalkannya begitu saja, ia terus melangkah pulang ke rumahnya.

Sementara itu si penjaga pintu gerbang mengadukan nasibnya kepada Sultan Harun Al Rasyid. “Ya, Tuanku Syah Alam, ampun beribu ampun. Hamba datang kemari mengadukan Abu Nawas yang telah memukul hamba sebanyak dua puluh lima kali tanpa suatu kesalahan. Hamba mohom keadilan dari Tuanku Baginda.” Baginda segera memerintahkan pengawal untuk memanggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas berada di hadapan Baginda ia ditanya.”Hai Abu Nawas! Benarkah kau telah memukuli penunggu pintu gerbang kota ini sebanyak dua puluh lima kali pukulan?”

Berkata Abu Nawas, “Ampun Tuanku, sudah sepatutnya dia menerima pukulan itu“ Apa maksudmu? Coba kau jelaskan sebenarnya kenapa kau memukul orang itu?” tanya Baginda. “Tuanku,”kata Abu Nawas.”Hamba dan penjaga itu mengadakan perjanjian bahwa jika‟hamba diberi hadiah tersebut akan dibagi dua. Satu bagian saya. Nah pagi tadi hamba menerima hadiah maka saya berikan pula hadiah dua puluh limi kali. “Hai penunggu pintu gerbang, benarkah kau berjanji seperti itu dengan Abu Nawas?” tanya Baginda. “Benar Tuanku,”jawab penunggu pintu gerbang mengira jika Baginda memberikan hadiah pada abunawas.

“Hahahahaha……. !Dasar tukang peras, sahut Baginda. ”Abu Nawas tiada bersalah bahwa penjaga pintu gerbang kota Baghdad suka memeras orang! Kalau kau tidak berubah aku akan memecat dan menghukum kamu!” “Ampun Tuanku,” sahut penjaga pintu gerbang.

Abu Nawas berkata,”Tuanku, hamba tidak suka tiba-tiba diwajibkan hadir di tempat ini, jadi Hamba mohon ganti rugi. Sebab jatah waktu karena panggilan Tuanku. Padahal besok hari melayat untuk keluarga hamba.”

Sejenak Baginda melengak, terkejut ate tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak,” Hahahah Baginda kemudian memerintahkan memberi sekantong uang perak kepada Abu Nawas. Hati Abunawas gembira. Tetapi sesampai di rumahnya Abu Nawas bahkan semakin nyentrik seperti orang gila.

Pada suatu hari Raja Harun Al Rasyid bertanya kepada menterinya. “Apa pendapat kalian mengenai Abu Nawas sebagai kadi?”

Tiga Wazir atau perdana menteri berkata,”Melihat keadaan Abu Nawas yang semakin parah otaknya maka sebaiknya Tuanku mengangkat orang lain saja menjadi kadi.” Menteri-menteri yang lain juga mengutarakan pendapat yang sama. “Tuanku, Abu Nawas telah menjadi gila karena itu dia tak layak menjadi kadi.” “Baiklah, kita tunggu dulu sampai dua puluh satu hari, karena bapaknya baru saja mati. Jika tidak sembuh-sembuh juga bolehlah kita mencari kadi yang lain saja.”

Setelah lewat satu bulan Abu Nawas masih dinggap gila, maka Sultan Harun Al Rasyid mengangkat orang lain menjadi kadi atau penghulu kerajaan Baghdad.

Konon dalam seuatu pertemuan besar ada seseorang bernama Polan yang sejak lama berambisi menjadi Kadi, la mempengaruhi orang-orang di sekitar Baginda untuk menyetujui jika ia diangkat menjadi Kadi, maka tatkala ia mengajukan dirinya menjadi Kadi kepada Baginda maka dengan mudah Baginda menyetujuinya.

Begitu mendengar Polan diangkat menjadi kadi maka Abu Nawas mengucapkan syukur kepada Tuhan. “Alhamdulillah…. . aku telah terlepas dari balak yang mengerikan. Tapi…. sayang sekali kenapa harus Polan yang menjadi Kadi, kenapa tidak yang lain saja.” Mengapa Abu Nawas bersikap seperti orang gila? Ceritanya begini: Pada suatu hari ketika ayahnya sakit parah dan hendak meninggal dunia ia panggil Abu Nawas untuk menghadap. Abu Nawas pun datang mendapati bapaknya yang sudah lemah lunglai.

Berkata bapaknya, “Hai anakku, aku sudah hampir mati. Sekarang ciumlah telinga kanan dan telinga kiriku.” Abu Nawas segera menuruti permintaan terakhir bapaknya. la cium telinga kanan bapaknya, ternyata berbau harum, sedangkan yang sebelah kiri berbau sangat busuk.

“Bagamaina anakku? Sudah kau cium?” “Benar Bapak!” “Ceritakan dengan sejujurnya, baunya kedua telingaku ini.” “Aduh Pak, sungguh mengherankan, telinga Bapak yang sebelah kanan berbau harum sekali. Tapi… yang sebelah kiri kok baunya amat busuk?”. “Hai anakku Abu Nawas, tahukah apa sebabnya bisa terjadi begini?” “Wahai bapakku, cobalah ceritakan kepada anakmu ini.”

Berkata Syeikh Maulana. Pada suatu hari datang dua orang mengadukan masalahnya kepadaku. Yang seorang aku dengarkan keluhannya. Tapi yang seorang lagi karena aku tak suka maka tak kudengar pengaduannya. Inilah resiko menjadi Kadi (Penghulu). Jika kelak kau suka menjadi Kadi maka kau akan mengalami hal yang sama, namun Jika kau tidak suka menjadi Kadi maka buatlah alasan yang masuk akal agar kau tidak dipilih sebagai Kadi o!eh Sultan Harun Al Rasyid. Tapi tak bisa tidak Sultan Harun AI. Rasyid pastilah tetap memilihmu sebagai Kadi.”

Nah, itulah sebabnya Abu Nawas pura-pura menjadi gila. Hanya untuk menghindarkan diri agar tidak diangkat menjadi kadi, seorang kadi atau penghulu pada masa itu kedudukannya seperti hakim yang memutus suatu perkara. Waiaupun Abu Nawas tidak menjadi Kadi namun dia sering diajak konsultasi oleh sang Raja untuk memutus suatu perkara. Bahkan ia kerap kali dipaksa datang ke istana hanya sekedar untuk menjawab pertanyaan Baginda Raja yang aneh-aneh dan tidak masuk akal.

Unsur Intrinsik Hikayat Abu Nawas: Pesan Bagi Hakim

Tema:
Keadilan

Alur:
Menggunakan alur maju mundur. Karena penulis menceritakan cerita tidak berurutan dari awal hingga akhir.

Setting/ Latar :
  • Setting Tempat : Negeri Antah Berantah, kerajaan raja Bahgdad, rumah Abunawas.
  • Setting Suasana: Ramai, menegangkan, dan bahagia.
  • Setting Waktu: Pada suatu hari

Tokoh/Penokohan:
  • Abu Nawas: Cerdik, Bijaksana
  • Sultan: Bijaksana, mudah tersinggung
  • Wazir: Bertanggung jawab, baik
  • Penjaga: Serakah
  • Polan: Ambisius, penghasut
  • Ayah Abu nawas: Bijaksana

Sudut Pandang Pengarang:
orang ketiga serba tahu.

Amanat:
  • kita harus banyak-banyak bersyukur.
  • Jangan selalu melihat ke atas, sekali-kali lihatlah kebawah, karena masih banyak orang yang hidupnya lebih menderita dari kita.
  • Hadapilah semua rintangan dan cobaan dalam hidup dengan sabar dan rendah hati.
  • Jangan memandang seseorang dari tampak luarnya saja, tapi lihatlah ke dalam hatinya.
  • Hendaknya kita dapat menolong sesama yang mengalami kesukaran.
  • Janganlah kita mudah menyerah dalam menghadapi suatu hal.
  • Hidup dan kematian, bahagia dan kesedihan, semua berada di tanan Tuhan, manusia hanya dapat menjalani takdir yang telah ditentukan.
  • kita harus selalu bersikap adil.

Unsur Ekstrinsik Hikayat Abu Nawas: Pesan Bagi Hakim

Nilai Moral
  • Kita harus bersikap bijaksana dalam menghadapi segala hal di dalam hidup kita.
  • Jangan kita terlalu memaksakan kehendak kita kalau sebenarnya tidak mampu.

Nilai Budaya
  • Sebagai seorang raja kita harus memberikan contoh yang baik kepada rakyat.

Nilai Sosial
  • Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.
  • Hendaknya kita mau berbagi untuk meringankan beban orang lain.

Nilai Religius
  • Jangan mempercayai ramalan yang belum tentu kebenarannya.
  • Percayalah pada Tuhan bahwa Dialah yang menentukan nasib manusia.

Nilai Pendidikan
  • Kita harus saling tolong-menolong terhadap sesama dan pada orang yang membutuhkan tanpa rasa pamrih.

Post a Comment

Luangkan sedikit waktu Anda untuk berkomentar. Komentar Anda sangat bermanfaat demi kemajuan blog ini. Berkomentarlah secara sopan dan tidak melakukan spam.