Sinopsis Dan Analisis Unsur Intrinsik Cerpen Perempuan Di Simpang Tiga

Artikel ini berisikan pembahasan tentang cerpen berjudul "perempuan di simpang tiga". terdapat tiga ulasan dalam artikel ini, pertama berupa uraian cerita perempuan di simpang tiga, kedua berupa sinopsis cerpen perempuan di simpang tiga, dan terakhir berupa unsur intrinsik cerpen perempuan di simpang tiga.

Tiba di simpang tiga, gadis belia itu teringat permintaan fotografer tua, tetangga barunya, senja kemarin. Dia diminta menjadi foto model berlatarbelakang masjid, di tepi pantai. Permintaan itu sungguh tidak pernah diduganya. Setelah berpikir cukup lama, dia minta pertimbangan kepada neneknya, satu-satunya orang di rumahnya.

“Sebaiknya Kemala menolak permintaan itu dengan santun,” kata Nenek Jamilah.

“Mengapa tidak boleh, Nek? Jadi foto model bisa terkenal, kan?” tanya Kemala heran.

“Pokoknya, pendapatku begitu,” jawab Nenek Jamilah tegas.

“Tapi, kasih tahu aku, apa alasan Nenek melarang?” “Pokoknya, pendapatku begitu. Titik!”

Kemala mengatakan, jadi foto model itu halal. Dia tidak perlu melepas busana Muslimah termasuk jilbab saat difoto. Foto itu untuk kalender tahun depan. Semua foto berlatar belakang masjid di berbagai tempat.

“Jadi, apa salahnya, Nek?” tanya Kemala penasaran.

“Tidak ada lagi jawaban untuk pertanyaan macam itu,” tukas Nenek Jamilah. “Ambil air wudhu, berdoa, lalu kita tidur sekarang, ya?”

Minggu pagi, seperti biasa, Kemala olaharga. Setelah satu jam lari berputar-putar di kompleks perumahan itu, dia berhenti di simpang tiga. Sejalur jalan di belakangnya ramai oleh anak-anak yang bermain sepatu roda dan sepeda.

Kemala menjadi yatim-piatu setelah ayah-ibunya meninggal dalam kecelakaan lalu-lintas di luar kota. Ketika itu, umur Kemala tiga tahun. Sejak saat itu, Kemala hidup bersama Nenek Jamilah, pensiunan guru SMA. Kakek Dullah hilang diculik orang tidak dikenal setelah terjadi tragedi berdarah di Tanah Air, pada tahun 1965.

“Nek, ceritalah tentang Kakek Dullah,” kata Kemala pada suatu malam. “Kakekmu itu adalah lelaki yang rendah hati, pendiam, tapi cerdas, dan kritis. Sebagai jurnalis yang berani dan jujur, dia menulis secara kritis pula berdasarkan investigasi yang dilakukannya. Nah, pada masa itu, jurnalis yang kritis dimusuhi. Kakekmu diculik orang tidak dikenal. Mungkin sekali karena sikapnya itu. Tapi, Nenek bangga kepadanya. Sebab, di masa itu, dapat dihitung dengan jari orang yang berani, jujur, dan kritis.”

Agak lama Kemala berdiri di simpang tiga sambil memikirkan kata-kata Nenek Jamilah. Pasti ada alasan yang tersembunyi, pikir Kemala tentang larangan neneknya. Tapi, siapakah, fotografer yang sering mengaku-aku sebagai seniman foto itu? Pertanyaan itu menggelisahkan Kemala.

Lelaki tua yang bertubuh kurus agak bungkuk itu selalu ramah kepada siapa saja. Dia dermawan kepada orang kampung kumuh yang miskin di seberang sungai kecil di sebelah timur kompleks. Jadi, apa alasan Nenek Jamilah melarangku menjadi foto modelnya? Ketika matahari mulai meninggi, Kemala meninggalkan simpang tiga. Tergesa-gesa dia pulang. Tubuhnya mandi peluh.

“Ketemu siapa tadi, Mala?” sapa Nenek Jamilah setibanya Kemala di rumah. “Buaaanyaaak, Nek,” jawab Kemala. “Bayi di kereta, para lansia, sampai gadis-gadis cantik dan pemuda-pemuda tampan,” lanjut Kemala.

“Senang, dong?”

“Yalah. Asyik!”

Setelah istirahat, mandi, sarapan ketupat sayur pakis dan telur, Kemala sarapan pagi kedua, yakni membaca tiga koran Nasional edisi Minggu. Khusus untuk langganan koran, majalah, dan uang kuliah, Kemala bayar sendiri dari hasil memberi les privat bahasa Inggris dan matematika. Nenek Jamilah merasa bahagia karena cucunya mulai belajar mandiri.

Baru dua koran edisi Minggu yang selesai dibaca Kemala, seniman foto tua itu datang lagi untuk kesekian kalinya. Seperti kedatangannya yang sudah-sudah, katanya menyambung tali silaturahmi dengan tetangga. Setiap lelaki berusia tujuh puluhan itu muncul, Nenek hanya menemuinya sebentar. Selebihnya, Kemala yang menemaninya ngobrol.

“Menyebalkan,” kata Nenek Jamilah setelah lelaki tua yang banyak bicara itu pamitan. “Mengulang cerita sukses masa lalu adalah ciri-ciri kegagalan seseorang di masa kini,” lanjut Nenek Jamilah sinis.

“Nenek membenci seniman foto tua itu?” tanya Kemala.

“Tidak benci sama sekali, tapi aku tidak suka saja sama dia.”

“Mengapa Nenek tidak menyukainya? Lantaran dia banyak omong? Atau, karena dia selalu mengulang-ulang kisah suksesnya di masa silam itu? Wajar, Nek, bila seseorang berkisah tentang sukses masa lalu. Masa, sih bercerita tentang keberhasilan masa depan! Itu namanya masih impian, bukan?”

Kemala berkata sambil tertawa-tawa, menggoda neneknya. Tiba-tiba Kemala terkekeh sendiri, saat Nenek Jamilah menjemur bantal di belakang. Cepat Kemala mendekati neneknya.

“Mau menggoda apa lagi, hem?” tanya Nenek Jamilah.

“Aku tahu, mengapa Nenek enggak suka pada seniman foto itu,” kata Kemala. “Cinta Nenek ditolaknya, ya? Ha ha ha!” Pecah gelak tawa Kemala pagi itu.

“Tak uus, ya?” balas Nenek Jamilah. “Sejak muda, aku tidak menyukainya.”

“Tapi, ketidaksukaan ada alasannya dong, Nek!”

“Tidak perlu!”

Malam Minggu berikutnya, batuk-batuk fotografer tua itu makin sering saja. Saat tidur pulas, dengkung-dengkung batuknya memecah keheningan malam. Nenek menggerutu. Kesal berat dia.

“TBC dia, barangkali!” kata Nenek Jamilah seraya ke kamar mandi. Dia berwudhu dan salat tahajud. Kemala mengikutinya tanpa berkata sepatah pun.

Paginya Kemala lari-lari pagi seperti biasa dan berhenti di simpang tiga lagi setelah lelah. Gadis itu menyukai simpang tiga yang dinaungi batang jati tinggi berdaun rimbun. Di sana, dia menghirup udara segar dan dapat memandang ke segenap arah. Di simpang tiga itu pula, Kemala selalu bertanya, mengapa Nenek Jamilah selalu sinis kepada si fotografer tua itu? Mengapa pula, Nenek melarangku menjadi modelnya?

“Aku tidak butuh uang dari dia, puuuh!” kata Nenek Jamilah sambil pura-pura meludah suatu pagi, ketika Kemala menyebut-nyebut uang honorarium sebagai model.

Ketika tiba di rumah pagi itu, Kemala terkejut saat melihat rumah sang fotografer tua dikunjungi orang banyak. Mobil-mobil bagus parkir di halaman rumahnya. Nenek Jamilah sudah di rumah itu. Kemala langsung menuju ke sana . Fotografer tua yang hidup sendiri itu meninggal dunia sehabis Subuh. Tukang cuci pakaiannya, yang datang pagi itu, yang mengetahui kematiannya.

Dokter langganan sang fotografer tua itu datang setelah ditelepon Ketua RT. Stroke adalah penyebab kematiannya, di samping kanker paru-paru yang sudah lama parah. Begitu kesimpulan dokter. Ketua RT pula yang bercerita bahwa almarhum tetap lajang sampai akhir hayatnya. Nenek Jamilah dan Kemala ikut mengantarkan lelaki malang itu ke pemakaman.

“Aku telah ikhlas memaafkannya,” kata Nenek Jamilah kepada Kemala dalam perjalanan pulang. Berulang-ulang perempuan keras hati itu menyeka air mata dengan selendang hitamnya. “Sebenarnya apa yang telah dilakukannya kepada Nenek?” tanya Kemala. “Dia tidak melakukan apa-apa kepadaku,” jawab Nenek.

“Lantas, mengapa Nenek tidak menyukainya?” desak Kemala setiba di rumah.

Nenek Jamilah mengatakan, dia mau shalat Dhuha dulu. Setelah itu, dia akan menjawab pertanyaan Kemala. Saat itu pukul sebelas lewat lima belas menit. Nenek Jamilah mandi di kamar mandi belakang. Kemala di kamar mandi depan. Mereka salat sunah Dhuha di kamar masing-masing.

“Nama lengkap fotografer itu adalah Ahmad Dimejad. Semasa muda, dia dan kakekmu bersahabat. Ketika orang-orang politik mengelompokkan masyarakat jadi terkotak-kotak, hubungan Ahmad Dimejad dan kakekmu jadi renggang. Bahkan, kedua orang yang semula sohib itu jadi berseberangan. Terakhir, Ahmad Dimejad memfitnah kakekmu. Katanya, kakekmu yang kritis dan revolusioner itu adalah kader PKI. Buntutnya, pada tahun 1966, kakekmu diculik orang-orang tidak dikenal dan tidak kembali hingga kini.” Nenek Jamilah bercerita sambil menyeka air matanya.

Menurut Nenek Jamilah, Ahmad Dimejad sakit hati karena lamarannya ditolaknya. Jamilah memilih kakek Dullah sebagai suaminya.

***

Karya : K. Usman

Sinopsis Cerpen Perempuan di Simpang Tiga

Kisah ini bermula dari seseorang wanita muda belia yang telah tiada kedua orang tuanya bernama Kemala. Kemala tinggal bersama Nenek Jamilah di suatu rumah dan memiliki tetangga baru seorang fotografer tua bernama Ahmad Dimejad. Suatu saat, Ahmad Dimejad meminta Kemala untuk menjadi foto model kalender yang berlatar belakang masjid di tepi pantai, namun Nenek Jamilah melarang keras Kemala untuk menjadi foto model Ahmad Dimejad.

Kemala penasaran mengapa Nenek Jamilah melarang keras dirinya untuk melakukan semua hal tersebut. Hingga akhirnya Ahmad Dimejad meninggal dunia lalu terungkaplah sebuah kisah rahasia mengapa Nenek Jamilah tidak menyukai Ahmad Dimejad. Apakah hubungan antara Nenek Jamilah dengan Ahmad Dimejad? Lalu bagaimana awal mula kisah rahasia itu terjadi?

Unsur Intrinsik Cerpen Perempuan di Simpang Tiga

Judul:

Perempuan Di Simpang Tiga

Tema:

Masa lalu (seorang wanita muda dilarang oleh neneknya untuk menjadi model bagi fotografer tua karena alasan kisah masa lalu diantara nenek dan fotografer tua tersebut)

Latar Setting:

- Lab. IPA, Sekolah (latar tempat)

- Di ruang kelas TK (latar tempat)

- Pagi hari dan malam hari (latar waktu)

Alur:

Campuran (alur maju dan mundur)

Amanat:

Janganlah kita suka mengungkit hal-hal yang sudah berlalu, dan kita harus saling mema’afkan.

Penokohan:

- Kemala : Baik hati

- Nenek : Keras hati

- Fotografer : Suka memfitnah, gampang sakit hati

Sudut pandang:

Orang ketiga serba tahu

Gaya bahasa:

Menggunakan majas perbandingan (majas hiperbola) dan majas penegasan (pleonasme dan tautologi).

Majas perbandingan, berupa majas yang menggunakan gaya bahasa ungkapan dengan cara menyandingkan atau membandingkan suatu objek dengan objek yang lainnya, yakni melalui proses penyamaan, pelebihan, atau penggantian. Beberapa jenis majas perbandingan yang terdapat dalam kutipan cerpen perempuan di simpang tiga diantaranya:

- Majas hiperbola (mengungkapkan sesuatu dengan kesan yang berlebihan, dan bahkan membandingkan sesuatu dengan cara yang hampir tidak masuk akal) "...saat tidur pulas, dengkung-dengkung batuknya memecah keheningan malam..."

Majas penegasan adalah jenis gaya bahasa yang dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan pengaruh kepada para pembaca atau pendengarnya agar menyetujui ujaran atau kejadian yang diungkapkan. diantaranya:

- Majas pleonasme (menggunakan kata-kata yang maknanya sama, sehingga terkesan tidak efektif, namun hal ini sengaja dilakukan untuk menegaskan suatu hal) "...lelaki tua yang bertubuh kurus agak bungkuk itu selalu ramah..."

- Majas tautologi (menggunakan kata-kata yang memiliki sinonim untuk menegaskan kondisi atau ujaran tertentu) "... di masa itu, dapat dihutung dengan jari orang yang berani, jujur, dan kritis..."

6 comments

  1. Ini termasuk cerita fiksi atau nonfiksi kak?
    1. Secara keseluruhan masuk ke cerita fiksi karena ceritanya merupakan hasil karya imajinasi dari pengarangnya dan tidak ada yang mengenal tokoh tokoh di dalam cerita tsb, namun terdapat sedikit unsur non fiksi pada bagian cerita yang memasukkan tragedi pemberontakan di Nusantara pada tahun 1965.
  2. Maap ka ini gaya berceritanya gimana ?
    1. Sudut pandang: orang ketiga serba tahu
      Gaya bahasa: Majas perbandingan (majas hiperbola) dan majas penegasan (pleonasme dan tautologi)
      Majas perbandingan, berupa majas yang menggunakan gaya bahasa ungkapan dengan cara menyandingkan atau membandingkan suatu objek dengan objek yang lainnya, yakni melalui proses penyamaan, pelebihan, atau penggantian. diantaranya:
      - Majas hiperbola (mengungkapkan sesuatu dengan kesan yang berlebihan, dan bahkan membandingkan sesuatu dengan cara yang hampir tidak masuk akal) "...saat tidur pulas, dengkung-dengkung batuknya memecah keheningan malam..."

      Majas penegasan adalah jenis gaya bahasa yang dibuat dengan tujuan untuk meningkatkan pengaruh kepada para pembaca atau pendengarnya agar menyetujui ujaran atau kejadian yang diungkapkan. diantaranya:

      - Majas pleonasme (menggunakan kata-kata yang maknanya sama, sehingga terkesan tidak efektif, namun hal ini sengaja dilakukan untuk menegaskan suatu hal) "...lelaki tua yang bertubuh kurus agak bungkuk itu selalu ramah..."

      - Majas tautologi (menggunakan kata-kata yang memiliki sinonim untuk menegaskan kondisi atau ujaran tertentu) "... di masa itu, dapat dihutung dengan jari orang yang berani, jujur, dan kritis..."
Luangkan sedikit waktu Anda untuk berkomentar. Komentar Anda sangat bermanfaat demi kemajuan blog ini. Berkomentarlah secara sopan dan tidak melakukan spam.